Friday, December 22, 2006

Saat Klakson itu Berbunyi

Anak kecil laki-laki berbaju merah umur 4 tahunan itu, entah dari mana munculnya, tiba - tiba sudah melenggang ditengah jalan kampung. Sesekali dia berguman, entah berdendang kecil atau berbicara dengan dirinya sendiri, aku tak tahu. Sesekali pula kepalanya bergerak ke kiri atau kekanan, sehingga aku bisa melihat mimik wajahnya yang serius lucu & samar - samar kerutan didahinya sekilas.

Dia sama sekali tak menoleh, apalagi menengok sedikitpun ke belakang, kearahku, yang sedang mengendarai motor berkecepatan 25 - 30 km/jam ini --dan bagiku semuanya terasa amat lamban--


Kadang kala kita --si manusia kecil ini--, tak menyadari dengan sekeliling... hanya menyibukkan-disibukkan dengan diri sendiri & "diri sendiri"... Tak berusaha menyadari hal yang tengah terjadi. Bahkan lebih buruk lagi mungkin : APA YANG AKAN TERJADI ! Bukannya mendahului yang akan menjadi "ketentuan", hanya saja.. manusia diberi kelebihan berupa akal-pikiran serta perasaan untuk sensitif. Berpeka hati dengan hari esok! Karena didunia ini banyak hal yang masih bisa 'diraba dan dilihat', seperti 'logika kecil' bahwa jika kita tidak bangun pagi-pagi sekali, maka kita akan terlambat ke kantor yang masuk pukul 7 pagi! Atau, kita akan merasa lapar dan haus jika tidak makan dan minum!

MANUSIA BODOH MANAPUN PASTI TAHU AKAN HAL ITU !

Pangeran kecil masih saja melangkah. Rambutnya yang disisir membelah ke kanan naik turun mengikuti gerakan tubuhnya. Aku masih saja mengikutinya dari belakang, mengamati tiap detik frame - frame live show ini. Sepasang sandal jepit warna oranye sedikit kebesaran dikaki - kaki mungil yang begitu lincah menopang tubuh kurusnya.

Mulut itu masih saja tak henti - hentinya menyuarakan apa yang dirasakan - dipikirkan. Tapi aku tak bisa mendengarnya! Entah karena dia terlalu jauh dariku, suaranya yang tak keras terdengar, suara bising sekitar, helm standardku yang begitu lekat menempel ditelingaku atau memang anak itu hanya berguman, lagi-lagi aku tak tahu. Karena aku hanya bisa melihatnya dari balik kacamata minusku.

Hingga detik ini, bocah kecil itu tetap sama : sama sekali tak menengok kearahku, si pengendara kuda besi !

Dengan (alasan) kesibukan tiap inchi hidup --kita, si makhluk kecil-- seringkali mengabaikan konsekuensi yang semakin mendekat. Pelan tapi pasti, semuanya seolah-olah bergerak menjadi : 'begitu saja' terjadi. Dan kita --lagi dan lagi-- seringkali tak menyadari bahwa semua itu disebabkan : juga karena diri sendiri.

Jarum jam bergerak ke angka 08.30.
" Tinnn! " kutekan klakson motorku, sekali, dengan ringan dan sesaat.

Reaksinya benar-benar luar biasa. Si kaos merah tersentak kaget. Mungkin gelembung-gelembung khayalan-bayangan di benaknya meledak berantai satu-satu dan menguap seketika.

Dia berlari kencang menjauhi kami berdua, aku dan motorku. Aku sempat mencium sekilas bau wangi tipis sabun darinya yang terbawa angin, angin yang ditinggalkan dia ketika berlari dan sebaliknya, kusongsong angin yang meninggalkannya. Si kecil ini rupanya barusan mandi ternyata, kataku dalam hati. Ya, mandi pagi yang kesiangan.


Pernahkah terpikir bahwa apa yang kita rasa telah berjalan pada track-nya, meloncat dari yang seharusnya? Seperti putaran sebuah lagu pada kaset atau CD yang tiba-tiba berkelebat pada nada berikut dan itu bukan lanjutan nada semestinya? Begitu spontan, hingga kita tak bisa mencegahnya ?

" Tiinn n n . . . "
Sekali lagi kutekan klakson, masih dengan cara seperti bunyi klakson pertama.

Dia semakin kencang berlari, sekali lagi hanya : berlari kencang!
Pemandangan 'aneh' itu mau tak mau membuatku 'tersenyum'.
Mengertikah hal apa yang membuatku tersenyum pahit sekaligus geli?

Ya, si wangi sabun tadi hanya : berlari kencang. Bukan : bergerak menyamping. Tidak bergeser minggir!

Tiba - tiba, kudengar seruan melengking dari arah depan penuh nada kekhawatiran.

"Hoeeeeiiiyyyyy! Mingggirrrrrr !!" suara seorang ibu yang sedang sibuk menyapu di sepetak halaman rumah sederhana, makin membuat si sandal oranye bergidik.

Kali ini mungkin --lagi-lagi-- balon-balon khalayannya yang tadi sempat terbentuk lagi, telah melumer. Tak bisa untuk ditiupkan di bibir kecilnya seperti saat aku pertama kali melihatnya tadi.

Pangeran kecil akhirnya berlari minggir. Dia menatapku. Benar-benar khas sorot anak kecil. Begitu gemas, aneh dan tajam serta sedikit tegang bercampur gelombang dengusan. "Berkata" tegang, bingung, takut, khawatir, kaget, senang, lega sekaligus bersyukur. Sejuta tatapan dalam sebentuk hunjaman pandangan yang sepertinya kukenal di masa lampau.

Ketika aku akhirnya (berhasil) melewatinya dan kemudian beradu mata, aku seperti melihat diriku di bola mata 'si Sisir miring kanan'. Cermin bening itu memantulkan gambarku :
"Aku (dulu) juga pernah melakukan hal yang sama sepertinya."

Ada "bola-bola raksasa kasat mata namun bisa dirasakan keberadaannya" sedang menggelinding : menerjang kearah kita.

Tanpa disadari, kita masih saja sering hanya berlari... berlari... terus saja berlari kencang dan lebih kencang lagi... tanpa berpikir untuk minggir menghindar! Padahal saat itu
' BUKAN BERLARI KENCANG INI YANG DIBUTUHKAN, TAPI "HANYA PERLU LANGKAH KECIL dan RINGAN" untuk MEMUTUSKAN KEMUDIAN MELAKUKAN GERAKAN 'MINGGIR KE TEPIAN '.

Dan, SEKELILING-LAH yang sering kali 'meneriaki' kita untuk segera menangkapi kembali kesadaran yang tengah lepas beterbangan dari sangkarnya.

Sedikit terdengar konyol memang, tapi begitulah adanya. Kita telah mendengar gemuruh bola-bola itu, bahkan melihatnya menggelinding mendekat. Hanya berlari kencang tidaklah cukup, namun menepi adalah untuk menggenapkan.

Kalau melangkah ringan dan menepi saja sudah cukup menyelesaikan, kenapa harus terengah - engah berlari kencang ???

Begitulah, KADANG kita dikejutkan oleh orang lain, namun kitapun juga SERING DIKEJUTKAN OLEH DIRI SENDIRI.